Memahami Puisi Lirik Modern
Ada
perbedaan antara lirik puisi modern dangan puisi terdahulu, manusia pada abad
terdahulu masih beranggapan bahwa apa
yang dapat dinikmantinya dengan mata kepalannya adalah sesuatu yang nyata dan
jelas ada. Tetapi pada abad ini manusia makin ragu tetang apakah kenyataan itu.
Batas antara sesuatu yang disebut normal dan abnormal makin sulit dibedakan,
baik secara sosiologis maupun secara psikologis, semua hal itu makin kabur.
Ketika pandangan kita terbuka terhadap sesuatu yang
tidak nyata dan tidak jelas atau kabur dapat dinikmati, justru dalam lirik
modern, konvensi keterjalinan antara kenyataan dan rekaan lain lagi sifatnya.
Culler dalam bukunya Structurarist
poetcs, Bab VIII, membicarakan secara sistematis dan mendalam, bahwasanya
justru puisi lirik pada satu pihak mirip dengan kenyataan. Menurut perumusan
penyair belanda Kloos, tokoh terkemuka dari kelompok Tachtigers, beranggapan kalau seni adalah ungkapan yang paling
individual dari emosi yang paling individual. Jadi emosi pribadi diungkapkan
dalam bentuk aku, dalam rangka waktu kini dan tenpat saat ini, sekaligus secara
kovensional pembaca tahu bahwa secara semiotik penafsiran harus malampaui batas
keakuan, kekinian dan kesinian si penulis. Bagi masyarakat awam tentu saja
memahani suatu nilai seni tidaklah mudah. Ada
yang beranggapan jika seni itu sama dengan ilmu mamematik yang dapat dihitung
tiap-tiap unsurnya melalui pemahaman yang ada. Akan tetapi banyak juga yang
beranggapan bahwa seni itu besifat abstak, tidak dapat dihitung karena nilai suatu
karya seni itu jujur dan apa adanya, sehingga nilainya tidak dapat di hitung.
Kita dapat menganalogikan seperti ini, ada sebuah lukisan abstrak yang
gambarnya seperti ayam, seorang A memberikan nilai minus Sembilan terhadap
lukisan itu karena menganggap lukisan itu tidak jelas, akan tetapi seorang B
memberikan nilai Sembilan puluh Sembilan terhadap lukisan itu karena menganggap
lukisan itu memiliki nilai seni yang tinggi, seperti menggambarkan ayam yang
sedang berkelahi. Hal-hal seperti ini yang membuat suatu karya seni itu tidak
dapat dihitung nilainya secara mamematis . Begitu pula dengan karya yang berupa
sajak dan lain sebagainya. Ketika seoarang penyair ingin menyampaikan “aku”
dalam karya sajaknya, sebenarnya yang menjadikan sajak itu bernilai penting bukanlah
informasi mengenai keakuan dan kekinian seorang penyair itu, melaikan keakuan
ini secara semiotik merujuk kembali pada keakuan pembaca sendiri, ataupun
keakuan manusia secara individual. Kita dapat mengambil contoh sajak dari
Chairil Anwar, yang menjadikan sajak dari Chairil Anwar itu begitu penting
sebagai suatu puisi bukanlah informasi mengenai keakuan dan kekinian seorang
penyair seperti Chairil Anwar secara nyata, keakuan ini merujuk pada keakuan
manusia secara individual. Jika kira membaca sajak Chairil Anwar secara mimetik
sebagai ungkapan kenyataan Chairil, pasti akan kehilangan maknanya. Tetapi
tanpa melibatkan keakuan sang pengarang yang menjadi jembatan, sajak itu mampu
kita tafsirkan sendiri.
Memahami puisi lirik tidak semudah menghitung angka
satu ditambah satu, memahami puisi lirik juga tidak dapat hanya ditafsirkan
oleh satu subyek tertentu saja, misalnya kita menafsirkan atau kita menarik
kesimpulan sendiri dari apa yang kita baca kemudian menikmatinya sendiri tanpa melihat
unsur-unsur apa yang terkandung di dalamnya. Hal itulah yang sering kali
menyebabkan kita salah penafsiran terhadap suatu karya sastra, bahkan
menyebabkan suatu sajak disalahtafsirkan. Puisi lirik baru dapat kita pahami
dan nilai seluruhnya dalam kaitannya yang kompleks antara pengakuan yang paling
individual si penyair lewat liriknya, dengan pesan yang relevan untuk setiap
manusia. (Riffaterre 1978: 166: mundur-maju ini, dari nilai tanda yang satu ke
nilai yang lain, muncul-hilangnya makna yang berganti-ganti, baik walupun ada
maupun karena ada cirri-ciri di tataran arti yang tak terterima marupakan
semacam lingkaran semiotik, yang khas untuk praktek pengertian yang disebut
puisi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar