Dalam pemahaman filsafat Agama, terdapat beberapa komponen yang menonjol di dalamnya, komponen tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Emosi
Keagamaan
2. Sistem
Keyakinan
3. Sistem
Ritual
4. Peralatan
Ritual
5.
Masyarakat
Penganut
Berdasarkan lima kompnen tersebut,
filsafat Agama berkembang menjadi kearah yang lembih luas. Akan tetapi,
perkembangan yang diusung oleh para filusuf Barat yang membawa paham-paham
modernisme dalam filsafat Agama menimbulkan pertentangan dari berbagai pihak.
Berbagai pemahaman yang saling berbeda antara para filusuf menimbulkan sebuah
kritik terhadap lima komponen Agama tersebut. Penulis secara mendalam ingin
ikut mengkritisi lima komponen Agama tersebut, berikut akan penulis paparkan
mengenai lima komponen Agama tersebut.
1.
Emosi
Keagamaan.
Pandangan mengenai pemahaman emosi
keagamaan, dalam dunia barat selalu dipisahkan dalam ranah budaya mereka.
Bangsa Barat sering kali memandang Agama sebagai sebuah hak pribadi yang tidak
perlu diungkit. Agama dipandang sebagai sebuah privasi yang dimiliki oleh
setiap individu bersama. Hal tersebut berbading terbalik dengan sikapa yang ada
pada masyarakat timur, khususnya Indonesia. Bangsa Indonesia memandang Agama
sebagai sebuah kajian religi. Bahkan Koentjaraningrat menyebutkan salah satu
sistem emosi yang terkangdung dalam kebudayaan terdapat pada sistem religi.
Beliau menyebutkan bahwa religi merupakan aktivitas manusia berdasarkan atas
dasar getaran jiwa, yang biasa disebut emosi keagamaan (religious emotion). Berdasarkan
kedua pemahaman tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan yang menggambarkan
tentang emosi keagamaan. Jadi, pada dasarnya emosi keagamaan merupakan
representatif dari sebuah kajian dalam hidup manusia. Emosi keagamaan jika
mengarah pada suatu individu, pada hakikatnya akan menjadi sebuah hak
preogratif masing-masing yang tidak perlu dipengaruhi oleh hal lain.
2. Sistem keyakinan
Sistem keyakinan dalam pemahaman
filsafat dipandang sebagai sebuah upaya dalam menyakini apa yang ada dalam
dunia kosmos. Keyakinan dipandang sebagai sebuah komponen utama untuk mengerti
dan paham akan adanya Tuhan. Namun, dilain pihak terdapat beberapa kolompok
yang memandang sistem keyakinan sebagai hal yang dipandang semu. Kelompok
tersebut yang cenderung tidak meyakini adanya sebuah “zat” yang dapat membentuk
alam semesta, mereka ini yang biasa disebut “ateis”. Kelompok ateis beranggapan
bahwa segala sesuatu yang terdapat di dunia ini merupakan sebuah hal yang
terbentuk sendiri tanpa ada campur tangan dari sebuah “zat” tertentu. Pada
hakikatnya, sistem keyakinan pada sebagian kelompok dipandang sebagai sebuah
sikap apreori terhadap dunia kosmos, sedangkan pada sebagian kelompok lain, hal
tersebut dipandang sebagai sebuah sikap religiusitas.
3. Sistem Ritual
Salah satu budayawan sekaligus guru
besar dalam bidang ilmu budaya Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa sistem
ritual itu adalah sebuah sistem yang hidup pada sebuah komunitas masyarakat.
Menyikapi hal tersebut, penulis dalam hal ini memandang bahwa pada dasarnya
sistem ritual merupakan komponen dalam Agama yang menyangkut keyakinan sebuah
masyarakt tertentu. Jadi pada dasarnya sistem ritual akan selalu berdampingan
dengan sistem kepercayaan seseorang. Jika individu tersebut menyakini akan
adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini, maka sistem ritual akan selalu
melekat pada dirinya sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang dimiliki individu
tersebut, begitupun sebaliknya.
4. Peralatan Ritual
Peralatan ritual atau yang biasa
dikenal dengan istilah peralatan ritus, merupakan apresiasi terhadap pemahaman
dalam komponen Agama. Sistem ritus, biasanya disangkutkan dengan situasi serta
kondisi yang ada pada masyarakat tertentu. Misalnya, pada sebagian orang yang
hidup diwilayah pedalaman cenderung menganggap peralatan ritus sebagai bagian
terpenting dalam komponen Agama. Masyarakat yang hidup dipedalaman cenderung
memandang hal tersebut sebagai sebuah keharusan guna tercapainya sebuah
kehidupan yang seimbang. Akan tetapi, sebagai masyarakat modern yang hidup
dalam sebuah perpaduan seluruh budaya, hendaknya kita bisa mengambil jarak dari
hal tersebut. Kita tidak perlu menganggap sistem ritus sebagai sebuah keharusan
yang selanjutnya berubah menjadi sebuah keharusan bagi penganut Agama tertentu.
Namun, kita juga tidak harus memandang hal tersebut dengan sebelah mata lalu
mengabaikannya. Jarak yang seimbang harus diciptakan guna terciptanya sebuah
keharmonisan.
5. Masyarakat Penganut
Berdasarkan lima komponen Agama
yang ada, masyarakat penganut memduduki tatanan paling tinggi dalam hal
keagamaan. Konflik, pertentangan, pro-kontra, akan selalu menjadi warna
tersendiri yang melekat pada komponen masyarakat penganut ini. Sikap kritis
yang dapat penulis tuturkan dalam hal ini hanya, sebagai sebuah komponen
terpenting dalam filsafat Agama hendaknya kita mengambil jarak untuk memahami
filsafat Agama itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar