Halaman

Selasa, 06 November 2012

Pemahaman Kritis Komponen Agama


           Dalam pemahaman filsafat Agama, terdapat beberapa komponen yang menonjol di dalamnya, komponen tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Emosi Keagamaan
2.      Sistem Keyakinan
3.      Sistem Ritual
4.      Peralatan Ritual
5.      Masyarakat Penganut
Berdasarkan lima kompnen tersebut, filsafat Agama berkembang menjadi kearah yang lembih luas. Akan tetapi, perkembangan yang diusung oleh para filusuf Barat yang membawa paham-paham modernisme dalam filsafat Agama menimbulkan pertentangan dari berbagai pihak. Berbagai pemahaman yang saling berbeda antara para filusuf menimbulkan sebuah kritik terhadap lima komponen Agama tersebut. Penulis secara mendalam ingin ikut mengkritisi lima komponen Agama tersebut, berikut akan penulis paparkan mengenai lima komponen Agama tersebut.

1.      Emosi Keagamaan.
Pandangan mengenai pemahaman emosi keagamaan, dalam dunia barat selalu dipisahkan dalam ranah budaya mereka. Bangsa Barat sering kali memandang Agama sebagai sebuah hak pribadi yang tidak perlu diungkit. Agama dipandang sebagai sebuah privasi yang dimiliki oleh setiap individu bersama. Hal tersebut berbading terbalik dengan sikapa yang ada pada masyarakat timur, khususnya Indonesia. Bangsa Indonesia memandang Agama sebagai sebuah kajian religi. Bahkan Koentjaraningrat menyebutkan salah satu sistem emosi yang terkangdung dalam kebudayaan terdapat pada sistem religi. Beliau menyebutkan bahwa religi merupakan aktivitas manusia berdasarkan atas dasar getaran jiwa, yang biasa disebut emosi keagamaan (religious emotion). Berdasarkan kedua pemahaman tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan yang menggambarkan tentang emosi keagamaan. Jadi, pada dasarnya emosi keagamaan merupakan representatif dari sebuah kajian dalam hidup manusia. Emosi keagamaan jika mengarah pada suatu individu, pada hakikatnya akan menjadi sebuah hak preogratif masing-masing yang tidak perlu dipengaruhi oleh hal lain.

2.      Sistem keyakinan
Sistem keyakinan dalam pemahaman filsafat dipandang sebagai sebuah upaya dalam menyakini apa yang ada dalam dunia kosmos. Keyakinan dipandang sebagai sebuah komponen utama untuk mengerti dan paham akan adanya Tuhan. Namun, dilain pihak terdapat beberapa kolompok yang memandang sistem keyakinan sebagai hal yang dipandang semu. Kelompok tersebut yang cenderung tidak meyakini adanya sebuah “zat” yang dapat membentuk alam semesta, mereka ini yang biasa disebut “ateis”. Kelompok ateis beranggapan bahwa segala sesuatu yang terdapat di dunia ini merupakan sebuah hal yang terbentuk sendiri tanpa ada campur tangan dari sebuah “zat” tertentu. Pada hakikatnya, sistem keyakinan pada sebagian kelompok dipandang sebagai sebuah sikap apreori terhadap dunia kosmos, sedangkan pada sebagian kelompok lain, hal tersebut dipandang sebagai sebuah sikap religiusitas.

3.      Sistem Ritual
Salah satu budayawan sekaligus guru besar dalam bidang ilmu budaya Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa sistem ritual itu adalah sebuah sistem yang hidup pada sebuah komunitas masyarakat. Menyikapi hal tersebut, penulis dalam hal ini memandang bahwa pada dasarnya sistem ritual merupakan komponen dalam Agama yang menyangkut keyakinan sebuah masyarakt tertentu. Jadi pada dasarnya sistem ritual akan selalu berdampingan dengan sistem kepercayaan seseorang. Jika individu tersebut menyakini akan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini, maka sistem ritual akan selalu melekat pada dirinya sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang dimiliki individu tersebut, begitupun sebaliknya.

4.      Peralatan Ritual
Peralatan ritual atau yang biasa dikenal dengan istilah peralatan ritus, merupakan apresiasi terhadap pemahaman dalam komponen Agama. Sistem ritus, biasanya disangkutkan dengan situasi serta kondisi yang ada pada masyarakat tertentu. Misalnya, pada sebagian orang yang hidup diwilayah pedalaman cenderung menganggap peralatan ritus sebagai bagian terpenting dalam komponen Agama. Masyarakat yang hidup dipedalaman cenderung memandang hal tersebut sebagai sebuah keharusan guna tercapainya sebuah kehidupan yang seimbang. Akan tetapi, sebagai masyarakat modern yang hidup dalam sebuah perpaduan seluruh budaya, hendaknya kita bisa mengambil jarak dari hal tersebut. Kita tidak perlu menganggap sistem ritus sebagai sebuah keharusan yang selanjutnya berubah menjadi sebuah keharusan bagi penganut Agama tertentu. Namun, kita juga tidak harus memandang hal tersebut dengan sebelah mata lalu mengabaikannya. Jarak yang seimbang harus diciptakan guna terciptanya sebuah keharmonisan.

5.      Masyarakat Penganut
Berdasarkan lima komponen Agama yang ada, masyarakat penganut memduduki tatanan paling tinggi dalam hal keagamaan. Konflik, pertentangan, pro-kontra, akan selalu menjadi warna tersendiri yang melekat pada komponen masyarakat penganut ini. Sikap kritis yang dapat penulis tuturkan dalam hal ini hanya, sebagai sebuah komponen terpenting dalam filsafat Agama hendaknya kita mengambil jarak untuk memahami filsafat Agama itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar