Halaman

Jumat, 18 Januari 2013

Mungkin



Mungkin



Dia melihatku, aku yakin dia juga pasti menaru perhatian padaku atau paling tidak, dia tahulah namaku.
Yah mungkin saja begitu, ah, tidak, tidak begitu, jangan pakai kata mungki, karna aku yakin dia pasti melihatku juga.
Aku benci kata mungkin. Kalau begitu dia pasti melihatku dan menaru perhatian padaku, sama seperti aku menaru perhatian padanya. Tapi, terserah sajalah yang jelas aku mengaguminya kini. Nah begitu terasa lebih baik.
Aneh, dia tidak berkulit putih, berdada besar, berbadan jenjang, seperti hayalanku tentang wanita idaman. Mungkin bukan hanya hayalanku saja, tapi juga hayalan laki-laki normal lainnya, yang menginginkan seorang wanita sepeti itu. Berkulit putih, berbadan jenjang, berdada besar, yang selalu meraka  anggap itu buah segar.
Dia sama seperti wanita-wanita lainnya. Rambutnya sebahu, hitam, lurus dan dibiarkan terurai begitu indah.
Kulitnya seperti memancarkan cahaya yang membuat semua pria mengaguminya, walau tak seputih salju.
Tubuhnya indah meski tak berdada besar, namun cukup meyakinkan kalau ia bukan anak kecil lagi.
Senyumnya sama seperti wanita yang pernah aku lihat diberbagai tempat awalnya. Tapi semakin ku lihat senyum itu, semakin aku mengaguminya lagi, lebih dalam lagi, sehingga membuat ia begitu berbeda dari semua.
Tapi apa yang membuat wanita ini dapat pengecualian besar? Mungkin dia polos, tapi tidak juga ternyata. Dia pernah menjalin hubungan dengan dua pria dalam waktu berbeda, itu cukup meyakinkan aku kalau dia tidak polos. Meski kini dia sendiri.
Dan kini, semuanya sudah kuceritakan pada teman-temanku. Tentang dia, tentang wanita yang penuh pengecualian itu. Semua perasaan kagumku padanya. Dan ternyata mereka yakin, sangat yakin. Aku pasti bisa kali ini, bisa tak sendiri lagi, itu perkataan mereka. Kini aku memang sedang gencar-gencarnya mencari sosok wanita yang bisa menemani kesendirianku.
Teman-temanku berkata kalau wanita ini, yang aku ceritakan itu, bukan wanita sembarang.
Tapi dia ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dia begitu anggun, begitu terlihat cerah senyum di pipinya kala ia tertawa. Halus tuturnya saat menyapa, begitu lembut warna kulitnya yang alami.
Tak seperti wanita lain yang harus menghabiskan berjuta-juta hanya demi penampilan. Itulah ungkapan mereka terhadap wanitaku itu, dia salah seorang wanita terbaik di bumi ini dan begitu banyak yang menginginkannya.


Aku tak mengerti ini semua, dan tak akan pernah mengerti. Selalu. Yang aku mengerti, dulu aku hanya bisa mengagumi saja, namun kali ini aku dapat menggenggam tangannya lebih dekat, lebih mesra.
Yah aku kini tak sendiri. Wanita itu sudah jadi pendampingku saat ini. Ia jadi kekasihku sekarang. Aku kini tak sendiri.
Kini aku jauh dari kebiasaan mencari wanita, jauh dari hura-hura, jauh dari pesta, jauh dari film dewasa, jauh dari itu semua karna kini ada Permata. Aku mulai menjauh dari kenakalan remaja sejak kenal Permata.
Dia Permata, namanya Permata, wanita yang dulu hanya bisa aku kagumi itu. Dan aku mulai benar-benar mengaguminya lagi ketika lebih dekat dengannya, sangat dekat.
Dia begitu sempurna di mataku, sangat sempurna, tanpa pengecualian sedikitpun. Sering aku berpikir kalau yang patut mendapat pengecualian adalah aku. Siapa aku? Hanya pria bertubuh kurus dengan rambut yang juga tak lurus.
Coba bayangkan, kulitku seperti sawo yang hampir busuk, rambutku bergelombang, badanku kurus kering, tapi aku bisa dapatkan wanita secantik dia. Sungguh anugrah yang tak bisa dibeli ini semua.
Aku bahkan tak punya sedan mengkilap atau jaguar roda empat yang bisa bikin semua wanita terpikat. Tapi aku tak perduli itu semua, yang pasti aku punya Permata saat ini, Permata yang indah, sangat indah dimataku.
Dia begitu berbeda dalam semua, berbeda dalam irama, berbeda dalam suara, keculai dalam cinta. Tak pernah ada alasan pasti mengundang emosi  untuk mencaci, tak terngiang sedikitpun untuk pergi, apalagi harus menghiyanati. Karna dia begitu dewasa jauh melebihi usianya yang belum juga delapan belas tahun.
Ia begitu mengerti isi hatiku, setidaknya itu yang aku pahami sampai kini. Kesabarannya, pengertiannya, perkataannya, keceriannya, semua tentangnya begitu sempurna, makin mengaguminya dan aku makin ingin terus besama selamanya.


Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya aku tetap tak mengerti dengan rencana-Nya. Selalu tidak akan pernah tahu. Yang aku tahu adalah, hampir  dua tahun kebersamaan yang begitu indah itu, yang aku pun tak cukup dan masih ingin terus mengaguminya. Lebih ingin mengaguminnya lagi dalam semua.
Akan tetapi, kini ia bilang tak akan lagi, tak dapat lagi, tak bisa bersama lagi, tanpa alasan pasti yang sulit dimengerti.
Apa aku tak seperti yang kau mau? Apa aku tidak sempurna?”
Itu yang pertama aku tanyakan padanya.
“Tak terlintas sedikpun tentang itu”
Jawabnya denga lembut. Kemudian ia melanjutkan dengan bahasa yang begitu indah. Sungguh luar biasa wanita ini. Bahkan dalam tutur katapun tetap ia jaga dengan penuh irama. Ia lanjutkan kata-katanya tentang perpisahan kami.
“Kau begitu sempurna, kau tulus menyayangiku, tidak pernah kubayangkan kesetiaan yang kau punya melebihi meraka, melebihi segala yang kurasa tentang pria. Kedewasaanmu tak pernah kutemukan pasti pada orang lain, laki-laki lain yang pernah kukenal. Hanya kau yang tidak pernah lelah dengan laku ku, aku pun tak henti mengagumimu, tidak cukup, tidak akan pernah cukup. Tapi aku tetap tak bisa, tetap tak bisa meski sudah kucoba”
“Lantas mengapa?”
Tanyaku lagi padanya. Ini perkataanku yang ke dua pada Permata. Lalu, dia mengatakannya lagi dengan nada berbeda kali ini
“Karna kau begitu sempurna dimataku, yah kau begitu sempurna dimataku, kau begitu sempurna dimataku.
            Ia mengulanginya, mengulangi kata-kata itu, kata-kata yang tidak pernah kuharapkan dari dirinya. Aku coba merayu dengan kenangan masa lalu, aku mulai bercerita tentang masa indah, berharap ia mengubah dan membuka hatinya lagi untuk ku kali ini
“Kau wanita pertama yang mengubah hidupku, kau yang pertama jatuh di pelukan ku ketika kita sudah mulai lelah bercengkrama, kau yang pertama mengecup keningku dengan lembut, membelaiku dengan indah,  mengecup lagi bibirku dengan cinta, memeluk ku dengan bahagia, kau….”
“Yah begitupun aku”
Ia memotong pembicaraanku dengan ramah. Kini, aku yang diam dan dilanjutkanlah perkataanya.
“Aku pun begitu, kau yang pertama untuk semua itu. Tapi aku tetap tidak bisa, kita harus berpisah, kini kau harus belajar membuangku, sama seperti aku belajar membuangmu”
Ungkapan yang tidak pernah terlintas dalam benakku, namun kini dia katakan dengan lembut walau terasa tetap menyakitkan.
Tapi, masih saja aku coba tetap merayu. Percakapan kami berlanjut lagi sekarang. Dan semakin memanas.
“Aku selalu yakin atas semua, juga yakin akan dirimu yang akan bersamaku hingga nanti aku mampu dan cukup untuk merangkulmu lebih erat lagi, dalam keresmian. Masih jauh memang, tapi aku yakin dengan itu semua, kau cinta partamaku dan aku yakin kau yang terakhir bagiku”
“Itu yang kau lupakan”
Kali ini dia menjawab dengan nada yang sedikit tinggi.
“Kau selalu menganggap itu yakin, tapi tidak denganku, semua bagiku mungkin”
“Jadi semua ini palsu?”
Aku memotong kata-katanya dengan juga bernada tinggi
“Tidak. Karna aku berusaha untuk jujur pada ini semua.”
Jawabnya dengan mesra. Lalu aku menundukan kepala dan berkata
“Jadi, apa kau tidak pernah mencintaiku?”
“Mungkin. Jadi lupakan aku”
Kata itu, kata yang aku benci ternyata selama ini ada dibenaknya dan tak pernah aku mengetahuinya karna yang aku tahu dan yang aku mau adalah pasti.
Seketika itu juga ia pergi. Pergi meninggalkan aku, meninggalkan segala kekagumanku tentangnya. Pergi tanpa pernah menoleh kebelakang, kini ia benar-benar ingin menghapus segalanya. Kini aku akan belajar membencimu.
                                                           
           
“Sepahit itukah masa lalumu, sehingga sampai kini kau masih membencinya?”
Sahabatku bertanya sambil menepuk pundakku, berusaha untuk menyemangatiku yang mulai lelah bercerita panjang tentang kekaguman yang aku benci itu.
Aku bercerita panjang lebar dengan temanku karena sampai saat ini ingatan tentang Permata masih ada di benak ini.
Aku berharap dengan aku curahkan isi hati ini, setidaknya sedikit kesedihan akan luka yang memanganga dulu terobati. Lalu, aku menjawab perkataanya itu dengan tegas, menjawab perkataan temanku yang sedari tadi asik mendengar ceritaku ini.
“Yah benar, aku membencinya, lebih tepatnya aku membenci kata itu, kata yang tak mau aku dengar, dan tak akan pernah aku ucapkan.”
“Lantas, bukankah kau sudah punya penggantinya kan kini? Wanita yang begitu mengagumimu dalam semua. Ia juga wanita sempurna yang selalu jadi rebutan para pria, kau beruntung teman, sangat beruntung. Dia tidak kalah dari masa lalumu itu yang entah kini mengingatmu lagi atau tidak ketika bertemu di persimpangan jalan.
Dia melontarkan pendapatnya dengan berani dan yakin kali ini
“Yah benar aku sudah punya penggantinya kini”
Jawab ku singkat. Kemudian dia menatapku tajam dan berkata
“Tapi sepertinya kau tidak sebahagia dulu? Apa kau tak pernah mencintainya?”
“Mungkin.”





Diangkat dari sepenggal kisah dalam novel yang berjudul "Anak Isimu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar