Halaman

Senin, 26 November 2012

Dampak hilangnya agama atau Tuhan pada masa modern tahap I dan II


Dampak hilangnya agama atau Tuhan pada masa modern tahap I dan II

Hilangnya Agama atau Tuhan pada masa modern tahan I dan II, dibagi menjadi beberapa pengelompokan yang didasarkan oleh pandangan pemikiran filsafat modern. Pertama, relativisme nilai dan norma. “Kematian Tuhan” seperti yang ditekankan Nietzsche dan Heidegger berarti hilangnya norma transenden. Secara pasti, tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan lebih baik dari yang lain. Tidak ada pola tingkah laku yang secara objektif bisa disebut salah. Semua pendapat tentang norma dan nilai dianggap subjektif sehingga memiliki kepentingan relative.
Pembagian kelompok sealnjutnya adalah nihilisme. Menurut nihilisme, bagaimana kita menjalani hidup, termasuk bagaimana memperlakukan orang, akhirnya tidak penting. Manusia dengan pandangan ini memiliki kekuatan penghancur yang sangat berbahaya.
Lebih jauh lagi pemahaman konsep tersebut dilontarkan oleh kaum materialisme. Materilah yang dianggap realitas dasar alam semesta. Bentuk paling jelas dari materialisme religius adalah nafsu tak terpuaskan untuk menguasai dan memiliki benda-benda material. Bentuk yang agak kurang jelas adalah diterimanya darwinisme sosial, yang menyatakan bahwa survival of the fittest adalah satu-satunya etika.Etika ini menciptakan dunia dan menyisihkan semua yang gagal bersaing.
Paham yang tidak kalah pentingnya dalam komponen ini adalah paham militerisme. Paham ini adalah keyakinan yang mengatakan bahwa kita hanya makhluk-makhluk fisik yang memiliki pengalaman indrawi saja, sehingga tidak ada norma objektif yang mempengaruhi tingkah laku kita. Selanjutnya, pandangan ini menghasilkan simpulan bahwa kekuatan pemaksa adalah satu-satunya memengaruhi orang atau negara lain.
Pemikiran yang terakhir yaitu neotribalisme. Paham ini merupakan pembedaan antara “kita” dan “mereka” dan  menyatakan bahwa norma moral pada kita tidak memberikan kendala perlakuan kita kepada mereka.
Berdasarkan lima pemahaman tersebut dapat kita simpulkan bahwa, dampak hilangnya Agama atau Tuhan pada masa modern didasarkan atas kriteria pandangan individu tertentu dalam kajian filsafat modern.

Minggu, 25 November 2012

Kritik modern terhadap paham atau pandangan Agama pada masa abad pertengahan.

Kritik modern terhadap paham atau pandangan Agama pada masa abad pertengahan.


Berdasarkan pemahaman yang diungkapkan David Ray dalam bukunya Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern, terdapat beberapa komponen yang membagi sebuah prosesi pada abad petengahan, komponen tersebut antara lain sebagai berikut: pertama, . Pertama, dunia diciptakan oleh Tuhan yang berpribadi, sehingga kualitas pribadi manusia dianggap abadi, asali, dan dasar. Pandangan menganai sikap pribadi dalam hal ini adalah menganai konsep Tuhan. Berpribadi pada masa abad pertengahan adalah Tuhan yang memiliki pandangan pribadi. Kedua. Kedua, manusia diciptakan dengan citra Tuhan, berada di dekat puncak rantai agung kehidupan. Artinya, manusia adalah makhluk istimewa. Ketiga, kehidupan di bumi bukanlah akhir, melainkan awal eksistensi manusia. Doktrin antara surga dan neraka menjadi penting.
Berdasarkan tiga pemahaman tersebut yang memandang sikap ketuhanan sebagai langkah awal dalam berbagai pandangan, ternyata mendapat kritik dari pandangan dunia modern. menurut paham yang mengedepankan pemikiran neo-Darwinisme tentang evolusi, dunia yang kita kenal bukanlah ciptaan Tuhan yang personal, melainkan kekuatan yang impersonal, yaitu kebetulan dan keniscayaan. Kekuatan alam semesta yang kekal dan mahakuasa itu hakikatnya impersonal. Lebih jauh lagi dalam pandangan modern yang ateistik, tidak ada satu pribadi yang mahatahu.
Selanjutnya pandangan pemikiran filsafat modern menyebutkan bahwa manusia bukan lagi contoh utama kualitas umum alam semesta. Ateisme menyatakan bahwa kita tidak diciptakan menurut citra Tuhan. Pandangan modern memilah kualitas manusia menjadi primer, sekunder, dan tersier. Kualitas primer adalah kualitas yang dianggap benar seperti bentuk, ukuran, dan massa. Kualitas sekunder yaitu kualitas indrawi seperti warna, suara, bau, rasa, panas, dsb. Kualitas tersier adalah kualitas yang tidak mencirikan alam tetapi mencirikan kesadaran itu sendiri. Contohnya adalah maksud, emosi, kebajikan, penilaian baik-buruk, dsb. Ketiga, tentang adanya kehidupan setelah kematian badan. Gagasan ini ditolak oleh pandangan materialistik.

Selasa, 20 November 2012

Memahami Puisi Lirik Modern


       Memahami Puisi Lirik Modern

Ada perbedaan antara lirik puisi modern dangan puisi terdahulu, manusia pada abad terdahulu masih  beranggapan bahwa apa yang dapat dinikmantinya dengan mata kepalannya adalah sesuatu yang nyata dan jelas ada. Tetapi pada abad ini manusia makin ragu tetang apakah kenyataan itu. Batas antara sesuatu yang disebut normal dan abnormal makin sulit dibedakan, baik secara sosiologis maupun secara psikologis, semua hal itu makin kabur.
Ketika pandangan kita terbuka terhadap sesuatu yang tidak nyata dan tidak jelas atau kabur dapat dinikmati, justru dalam lirik modern, konvensi keterjalinan antara kenyataan dan rekaan lain lagi sifatnya. Culler dalam bukunya Structurarist poetcs, Bab VIII, membicarakan secara sistematis dan mendalam, bahwasanya justru puisi lirik pada satu pihak mirip dengan kenyataan. Menurut perumusan penyair belanda Kloos, tokoh terkemuka dari kelompok Tachtigers, beranggapan kalau seni adalah ungkapan yang paling individual dari emosi yang paling individual. Jadi emosi pribadi diungkapkan dalam bentuk aku, dalam rangka waktu kini dan tenpat saat ini, sekaligus secara kovensional pembaca tahu bahwa secara semiotik penafsiran harus malampaui batas keakuan, kekinian dan kesinian si penulis. Bagi masyarakat awam tentu saja memahani suatu nilai seni tidaklah mudah. Ada yang beranggapan jika seni itu sama dengan ilmu mamematik yang dapat dihitung tiap-tiap unsurnya melalui pemahaman yang ada. Akan tetapi banyak juga yang beranggapan bahwa seni itu besifat abstak, tidak dapat dihitung karena nilai suatu karya seni itu jujur dan apa adanya, sehingga nilainya tidak dapat di hitung. Kita dapat menganalogikan seperti ini, ada sebuah lukisan abstrak yang gambarnya seperti ayam, seorang A memberikan nilai minus Sembilan terhadap lukisan itu karena menganggap lukisan itu tidak jelas, akan tetapi seorang B memberikan nilai Sembilan puluh Sembilan terhadap lukisan itu karena menganggap lukisan itu memiliki nilai seni yang tinggi, seperti menggambarkan ayam yang sedang berkelahi. Hal-hal seperti ini yang membuat suatu karya seni itu tidak dapat dihitung nilainya secara mamematis . Begitu pula dengan karya yang berupa sajak dan lain sebagainya. Ketika seoarang penyair ingin menyampaikan “aku” dalam karya sajaknya, sebenarnya yang menjadikan sajak itu bernilai penting bukanlah informasi mengenai keakuan dan kekinian seorang penyair itu, melaikan keakuan ini secara semiotik merujuk kembali pada keakuan pembaca sendiri, ataupun keakuan manusia secara individual. Kita dapat mengambil contoh sajak dari Chairil Anwar, yang menjadikan sajak dari Chairil Anwar itu begitu penting sebagai suatu puisi bukanlah informasi mengenai keakuan dan kekinian seorang penyair seperti Chairil Anwar secara nyata, keakuan ini merujuk pada keakuan manusia secara individual. Jika kira membaca sajak Chairil Anwar secara mimetik sebagai ungkapan kenyataan Chairil, pasti akan kehilangan maknanya. Tetapi tanpa melibatkan keakuan sang pengarang yang menjadi jembatan, sajak itu mampu kita tafsirkan sendiri.
Memahami puisi lirik tidak semudah menghitung angka satu ditambah satu, memahami puisi lirik juga tidak dapat hanya ditafsirkan oleh satu subyek tertentu saja, misalnya kita menafsirkan atau kita menarik kesimpulan sendiri dari apa yang kita baca kemudian  menikmatinya sendiri tanpa melihat unsur-unsur apa yang terkandung di dalamnya. Hal itulah yang sering kali menyebabkan kita salah penafsiran terhadap suatu karya sastra, bahkan menyebabkan suatu sajak disalahtafsirkan. Puisi lirik baru dapat kita pahami dan nilai seluruhnya dalam kaitannya yang kompleks antara pengakuan yang paling individual si penyair lewat liriknya, dengan pesan yang relevan untuk setiap manusia. (Riffaterre 1978: 166: mundur-maju ini, dari nilai tanda yang satu ke nilai yang lain, muncul-hilangnya makna yang berganti-ganti, baik walupun ada maupun karena ada cirri-ciri di tataran arti yang tak terterima marupakan semacam lingkaran semiotik, yang khas untuk praktek pengertian yang disebut puisi).

Senin, 12 November 2012

Peran Rangga Warsita dan Mangku Nagara IV dalam Karya Sastra Jawa


Peran Rangga Warsita dan Mangku Nagara IV dalam Karya Sastra Jawa
Memahami suatu karya sastra tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak hal yang harus kita ketahui agar pemahaman kita terhadap karya sastra itu lebih mendalam. Salah satu hal yang dapat kita pelajari untuk memahami suatu karya sastra adalah dengan melihat sejarah dari karya sastra itu sendiri. Banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan dengan mempelajari sejarah suatu karya sastra, antara lain kita akan mengetahui siapa orang yang berpengaruh penting dalam perubahan suatu karya sastra dan lain sebagainya. Pada kesmpatan kali ini, topik yang akan dibahas mengenai peran seseorang terhadap suatu karya sastra.
         Pada awal abad ke Sembilan belas, di daerah Surakarta, kaum intelektual dari Belanda telah mempelajari  sastra Jawa untuk tujuan mereka sendiri. Kaum intelektual dari Belanda bahkan pada awal abad ke Sembilan belas telah membuat kamus Jawa-Belanda. Secara tidak langsung kehadiran kaum intelektual atau para sarjana dari Belanda ini telah berpengaruh besar terhadap perkembangan karya sastra khususnya di daerah Surakarta. Pada saat itu masyarakat Jawa priyayi berkembang menjadi kelas intelektual yang kebarat-baratan. Seiring perkembangan jaman, pada awal abad ke dua puluh, sekolah-sekolah yang tadinya hanya mengkhususkan pada masyarakat tertentu kemudian terbuaka untuk orang-orang dari semua golongan, hal inilah yang menyebabkan ide-ide atau pemikiran-pemikiran barat berkambang pesat pada saat itu. Ditengah derasnya pengaruh pemikiran barat terhadap perkembangan karya sastra di daerah Jawa Tengah, Rangga Warsita seorang pemuda pribumi secara mengejutkan mampu menghasil suatu karya sastra yang menarik perhatian banyak orang. Tidak seperti para pendahulunya atau kaum intelektual terdahulu yang hanya menterjemahkan karya sastra Jawa terdahulu kedalam bahasa yang mereka mengerti, Rangga Warsita menulis karya sastra dalam bentuk prosa. Pengaruh barat memang sangat kental pada saat itu, sehingga karya-karya dari Rangga Warsita secara tidak langsung mengusung pemikiran barat, namun tidak menghilangakan nilai budaya aseli masyarakat pada saat itu. Hal inilah yang menyebabkan karyanya dapat dengan mudah diterima oleh semua golongan masyarakat, termasuk golongan intelektual Belanda. Rangga Warsita telah memberikan sentuhan baru terhadap perkembangan karya sastra Jawa dengan menggabungkan unsur kebarat-baratan dengan budaya lokal, ia mampu memberikan angin segar ditengah derasnya pengaruh barat.
         Selain Rangga Warsita, Mangku Nagara IV juga orang yang berpengaruh besar terhadap perkembangan karya sastra pada abad kesembilan belas. Berbeda dengan Rangga Warsiata, Mangku Nagara pada saat itu membuat karya dalam bentuk puisi. Mangku Nagara IV pada saat itu menulis puisi tentang moralistik atau tentang kehidupann sosial. Karya-karya Mangku Nagara IV mungkin lebih mudah berkembang pesat, karena dia adalah seorang yang memilki kekuasaan di daerah Surakarta, akan tetapi karya-karyanya begitu dihargai bukan karena kekuasaan yang ia miliki, namun karena puisi-puisi yang diciptakannya begitu menarik perhatian semua golongan. Pusi-puisi Mangku Nagara pada saat itu dianggap yang paling baik diantara pusi-pusi yang ada khususnya di daerah Surakarta. Pada akhir abad kesembilan belas, beberapa orang beranggapan ada peran Rangga Warsita di dalam puisi-puisi Mangku Nagara. Karya Mangku Nagara dianggap tidak murni, namun hal itu tidak terbukti dan hanya menjadi rumor saja pada saat itu. Karya-karyanya tetap dianggap yang paling baik.
         Karya sastra telah mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Beberapa karya sastra ada yang mendapat pengaruh barat, namun ada juga beberapa karya sastra yang masih mempertahankan nilai aseli budaya mereka. Pengaruh barat terhadap karya sastra jawa memang sangat kental, hal ini dikarenakan pendidikan yang diperoleh tidak lepas dari campur tangan budaya Barat, bahkan hingga kini. Terlepas dari itu semua, peran Rangga Warsita dan Mangku Nagara terhadap perkembangan karya sastra Jawa tidak dapat dikesampingkan. Mereka dengan berani membuat karya sastra yang bersebrangan pada saat itu. Hal ini membuktikan kalau orang-orang pribumi masih berperan besar dalam perkembangan karya sastra.