Halaman

Selasa, 02 September 2014

Kalah dan Mengalah


Satu perbedaan kecil dalam diri seseorang akan membuat perubahan besar dalam siatusi tertentu. Kadang ego mengusik laju nadi yang bergerak serentak mengikuti aliran darah, hingga sering kali kita alami keras hati yang sangat memuncak. Rasionalitas tak berguna saat nafsu memuncak bagai macan kelaparan yang tengah menerkam mangsa.
Pada satu sisi kita kerap tak tertahankan ingin habisi saja kemarahan itu dan lawan juga dengan ketegasan yang tak kalah imbang. Namun, hela nafas yang hanya setengah ini sering kali menahannya, menahan walau tahu ia tak akan datang. Karena jika nafas tak menahan kekacauan ego, maka tak akan ada lagi kesabaran hati berbalut kasih. 
Coba rasakan dan hayati yang satu ini, 

" Kalau sampai waktuku, Ku mau tak seorangpun kan merayu, Tidak juga Kau, Tak perlu sedu sedan itu, Aku ini binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang, Biar peluru menembus kulitku, Aku tetap menembus meradang menerjang, Luka dan bisa ku bawa berlari, Berlari hingga hilang pedih peri, Dan aku akan lebih tidak perduli, Aku mau hidup seribu tahun lagi".

Itu adalah goresan tinta seseorang yang menggambarkan kegelisahannya terhadap ego yang tak nampak dalam laku. Seorang yang hanya ingin berdiri saat orang lain membutuhkannya, seorang yang ingin merangkul saat jiwa lain terluka, seorang yang ingin menghibur saat tawa tak ada karena duka, seorang yang ingin sekedar berkata, "Semua akan baik-baik saja, maka tersenyumlah untuk hari ini, esok, dan seterusnya". Namun, orang itu tak ingin satu air mata pun jatuh ke pipi indah manusia, mana kala ia pergi dari dunia ini. Ia hanya ingin dunia hiraukannya saat pergi saja. Karena itu mimpinya.

Aku yang tak berdaya ini, hanya ingin merangkul jiwa yang sedang terluka pula di sudut sana, aku yang satu nafas ini, cuma berharap canda tawa kembali lagi di hati yang rapuh karena luka kemarin sore dan tadi lusa. Dan aku yang cuma anak cucu ini ingin saja merangkul pundak yang kini lelah sebab sayap telah patah dan terpisah.
Aku hanya ingin membagi setiap kegembiraan seperti "AKU" pada coretan tinta di atas itu. Namun, tak semua keceriaan yang bahkan bercampur ketulusan itu dapat diterima. Karena hati yang telah rapuh memang sulit untuk diperbaiki. Dan ego kadang selalu saja menemani kerapuhan itu. Maka, sampai hari ini biarkanlah, "Aku Kalah dan Mengalah" demi hari yang lebih baik lagi esok nanti.

Nb: Agar kita mengerti, kalau Ego itu kejam dan menusuk hati.