ALMAMATER PENUMPAS TEROR
Hanya menempuh separuh jalan bukan berarti salah
jalan. Ketika angan terbuka dan coba membayangkan tentang hal itu, entah itu
ungkapan, pertanyaan, pernyataan, atau hanya goresan tangan. Semua tak akan
perduli pasti, apalagi coba menggalinya lebih dalam lagi tentang semua ini.
Terlalu jauh memang angan berkelana mengajak kita, jika coba mengungkapkan hal
itu, atau tak pengat asa akan mendua manakala kita memendamnya. Tak menarik
mungkin jika terus berkutat dengan itu semua, lebih baik berpikir yang sudah
tersedia dari pada sibuk mengungkap
kata. Namun semakin kita coba menjauh dari itu semua semakin “perkasalah” para
“penguasa” kita. Kita mungkin tak bersenjata, tapi bukan berarti kita sebagai
mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa karna kita punya goresan tinta yang lebih
berbahaya dari tembakan membabi buta dan gas air mata yang sering digunakan
“penjaja negeri” untuk membela diri ketika terbukti merampas “harga diri”
bangsa dan menelan rupiah namun tak diadili.
Tak ada pintu masih membuka, tapi mungkin masih ada
seliang luka yang menganga dan belum diberi nama, “mereka” mungkin lupa atau
sengaja tak berbuat apa-apa, menutup sebelah mata seperti tak ada derita ketika
“mereka” berkuasa. Hanya menikmati harta, tahta, dan kuasa seperti seorang
raja. “Mereka” juga pasti menempuh jalan panjang untuk mendapat kuasa negeri,
mulai dari janji hingga mengucap ikrar pasti, setelah itu resmi berkuasa di
negeri ini. Semua orang tentu saja menghargai para “penguasa” itu, menghormati
kedudukannya, mendengar tutur katanya ketika ia berbicara. Sebagai rakyat
jelata kita hanya bisa menitipkan masa depan bangsa ditangan mereka, mulai dari
cita, karya, hingga jiwa, semua ada di pangkuan mereka. Akan tetapi “raja” itu
kini menghilang atau sengaja menghilang. Mendusta pada sumpah dan lebih teragis
lagi merampas semua yang ada. Entah harus bersedih atau berduka menyaksikan ini
semua. Rakyat tak lagi percaya pada penguasa, hukum tak lagi berdaya manakala
rupiah berbicara. Lantas apakah
kita yang beralmamater dan berpendidikan tinggi (mungkin), hanya diam melihat
ketidak adilan ini? Bukan waktunya lagi berbicara cinta, merencanakan pesta dan
hura-hura, tapi rangkul semua “keluarga” kita yaitu mahasiswa untuk bersatu,
berjuang dengan apa saja yang mereka bisa, dengan satu tujuana pasti, menumpas
“pencuri berdasi” hingga tak terdengar lagi kata korupsi.
Jari-jariku luka-berdarah, juga telapak tanganku, begitu
tajamyang ingin ku genggam, sedang yang remeh terlepas sudah. Entah dengan apa
ku tuliskan esok, sedang sesaat serambi terasa kosong, mungkin aku harus
berdiri kini, berdiri bukan dari belakang, tapi berperan di depan, mengangkat
kepala, membuka mata. Tidak perlu berperang dengan senjata tajam, dengan
kepalkan tangan dan turun ke jalan kita juga bisa menyelamatkan bangsa. Tapi
bukan berarti kepalan tangan dan turun ke jalan satu-satunya cara menyelamatkan
bangsa atas “penguasa” yang tak berjiwa dan tak ada rasa iba. Sebagai generasi
muda yang terdidik atau yang dikenal dengan mahasiswa, pastinya punya berbagai cara
menumpas kemunafikan, tentunya dengan cara mereka masing-masing. Seperti
membuktikan adanya pencuri dengan meneliti, berjuang berani dengan
argumen-argumen rasional dalam diskusi, dan masih banyak upaya-upaya yang bisa
kita lakukan untuk menyelamatkan negeri dari teror “tikus-tikus berdasi” yang
tak punya harga diri. Seperti biasa kita memilih diam menyerahkan perjalanan
kepada sunyi, kita percaya saja ia lebih paham bagaimana mengurai jarak dalam
sejumlah kelokan seraya membunuh kebimbangan yang menghadang, lalu tetap diam
walau ada kebisingan yang garang. Apakah seperti itu tingkah kita saat ini?
Apakah hanya itu yang kita mampu? Hanya seperti itu jiwa terhormat mahasiswa
itu kini? Padahal kita bosan setiap hari mendengar “pencuri-pencuri” asik berbicara
dengan gagah berani. Tentu akan sangat menggelikan sekali hanya diam, menikmati
dengan secangkir kopi dan sepong roti, sementara saudara-saudara yang lain
meringis dalam sepi. Sama saja tak punya jati diri jika kita sebagai generasi
muda masih tetep seperti ini. Untuk apa memiliki alamamater jika tetap seperti
ini, tak ubahnya “anak mami” yang hanya bisa iri jika tak diberi roti. Bukan
seperti itu yang kita mau, tapi berdiri tegak seperti karang yang diharapkan.
Maka mulai kini sadarlah, kita penerus mereka para “raja”,jangan sampai kita
yang di hina, ketika menjadi pemimpin bangsa, padahal dahulu gigih menghapus
dusta.
Bersandarlah padaku, pada kulit yang belajar darimu
bagaimana cara menyentuh dan meredam ombak-ombak kecil yang menghempas
dinding-dinding jantung. Jika merasa lelah istirahatlah sejenak, teguk air
hangat setelah itu teruskan perjuanganmu sampai tak terbatas jarak. Entah
sampai kapan ini semua akan berakhir, lelah memang, namun jangan sesekali
menutup mata dan mengunci telinga, karna teror ada di mana-mana. Cobalah
belajar dari kesalahan agar tak terjerumus pada lubang yang sama, berkaca pada
sejarah masa lampau, sejenak tengok pula lebih kebelakang lagi, coba ingat
dengan cermat, negeri ini saat itu “mengerikan”, disegani berbagai bangsa seluruh
dunia, mampu mengatasi keterpurukan. Melahirkan manusia-manusia berkasta
ksatria. Tak ada pencuri harga diri bangsa, semua bersama-sama membangun negeri
dengan berangkulan tangan. Tapi itu masa lalu, masa lalu yang tak mungkin
kembali, meski beribu kali mencaci masa itu tidak akan pernah kembali. Yang
patut kita renungkan, apakah kita bisa kembali menata semua yang sudah ada
hingga kita tak terbelaka? Kini bangsa selalu di rundung duka, walau sesekali
coba menutup mata, namun percuma, tarikan jiwa begitu sempurna dan terus
berteriak bangkit intelektual muda “peran mahasiswa dalam menutaskan kasus
korupsi di Indonesia” belum ada apa-apanya menempuh separuh perjalanan saja
tiada. Kalau sudah seperti ini kita harus berbuat apa? Mungkin itu pertanyaan yang
harus di tanamkan dan di tumbuhkan dalam diri para mahasiswa, kita harus
berbuat apa menumpas “serdadu berdasi” dan “berkantung besi” itu? Tak perlu
mencari jawabannya memang, karna semua terdapat dalam diri kita para mahasiswa.
Karna tiap hela nafas yang keluar dari liang
jiwa intelektual muda adalah berbau perjuanga harusnya. Begitu indah
terasa manakala jiwa bersahaja dengan kita, berbaur dalam semua, dan dengan
satu tujuan pasti menyelamatkan negeri ini. Tapi menyelamatkan negeri ini dari
apa? Berulang kali meminta pertolongan namun tak mengerti apa pokok masalahnya.
Lihat di sekeliling, tengok juga ke samping. Begitu banyak yang perlu di
selamatkan. Beribu tangan meminta pertolongan. Lalu
harus bagaimana? Masih bertahan atau malah mulai bosan dengan ini semua? Bahkan
memilihpun kita tak di ijinkan, karna memang kita tak bisa memilih. Tapi
ternyata semua mereka itu “pencuri”, ternyata semua tangan yang meminta
pertolongan itupun tak seluruhnya suci. Kini jelas sudah tujuan utama mahasiswa
atau kaum intelektual muda, yaitu menumpas apa yang di rampas, memerangi para
pencuri, mengadili jika terbukti, bukan main hakim sendiri.
Sudah jelas bukankah kini, jadi tak perlu ada tanya
lagi, ubah tanya itu denga bukti, tunjukkan pada mereka kita berjuang tidak sendiri namun bersama atas
nama bumi demi negeri. Runtuhkan “dasi-dasi” yang tak pantas bediri itu.
Keloknya jarang di tempuh sang biasa, jurangnya melebihi batas umpama, ujungnya
tak terisi oleh mata. Jangan mundur karna kata juga luar biasa, sama seperti bisa
yang mampu membunuh seketika, maka tersenyumlah, ajak dia dan mereka berjuang
bersama-sama dalam apa saja demi menumpas dusta dan menghapus air mata. Tak
dapat sepeserpun memperjuangkan kebenaran memang, justru lelah yang malah
terasa, tapi itulah tujuan kita sebagai mahasiswa, selain bergulat dengan buku
setiap hari, berkutat pada tugas yang membosankan, namun isu-isu atau tepatnya
fenomena yang ada berdasarkan fakta juga harus kita ungkap. Mulai dari yang
terkendali, hingga “pencuri negeri” sekalipun harus kita tangani agar kita
menjadi pemberani. Bukan berarti mahasiswa adalah dewa, yang mampu menghapus
malapetaka, namun mahasiswa hanya berperan ganda, sebagai pencari cita dan juga
sebagai jiwa muda yang perduli pada masa depan negeri, karna bukan rahasia lagi
menyaksikan hukum di negeri ini berpihak sebelah hati, yang punya rupiah
tertinggilah yang menguasai negeri tanpa tersentuh hukum dan tak perduli
jeritan hati nurani. Jika seperti itu adanya, lalu siapa yang akan berjuang,
mau jadi apa bangsa ini jika dikuasai pencuri.
Perih terasa menyaksikan negeri ini terus-menerus di
gerogoti kurcaci-kurcaci tengil yang berkuasa. Mereka selalu menganggap berhak
atas segala laksana raja yang tak mempan senjata. Gejolak-gejolak besar
berkecamuk di tubuh bangsa ini, maulai dari kasus BLBI hingga kasus mega Bank
Century. Yang semua itu
lagi-lagi ulah “tikus-tikus berdasi” dan “berkantung besi”. Belum terselesaikan
masalah century yang berkepanjangan, muncul lagi hal yang menggelikan,
kemewahan di balik jeruji besi. Untuk kesekian kalinya terbuktilah kalau kini
pencuri dan perampas martabat bangsa, yang berseragam, harum, rapi, dan wangi
namun tak punya harga diri itulah yang memegang kendali. Begitu naïf jika tetap
diam, duduk manis dan menyimak saja apa yang terjadi, padahal jelas terbukti
korupsi kini mengakar dalam tubuh negeri. Jangan mau jadi pecundang seperti
para “penjaja” itu, hadapi saja “pencuri-pencuri” itu dan yakinlah kita
mahasiswa tak sendiri. Maka cobalah sedikit demi sedikit kurangi luka negeri ini.
Jangan meringis apalagi pesimis karna kita masih seumur jagung, belum paham
arti akan nikmat dunia, jangan menunduk karna mahasiswa hanya sebongkah daging
yang tak ada kuasa, janga pendam itu semua, karna itu tak lebih sebuah dusta
agar kita tak berdaya, lalu “penjaja” itu bahagia merusak semua. Intelektual
muda memang belum separuh abad, intelektual muda juga memang tak berkuasa, tapi
ingat, penghapusan dusta pada masa dahulu, keruntuhan orde lama, hingga
penghapusan orde baru. Semua perubahan negeri diawali dengan bersama oleh para
mahasiswa. Lalu masihkah kita berpura-pura mati ketika ada korupsi? Jawabnya
ada pada diri kita sendiri, ingin tetap begini, menanti dan ikut menggerogoti
atau harus berdiri walau hanya seorang diri untuk menyelamatkan negeri demi ibu
pertiwi. Begitulah tangamu menyamar waktu, melambai sepenuh sungguh, serupa
kapak sunyi seerkor burung yang sendiri, merambat tapi tak menghampiri, hanya
seketika menggoda lalu pergi. Akan tetapi waktu tak mau menunggu, menanti
perubahan zaman juga tak bisa hanya diam dan berpangku tangan, butuh sesuatu
yang istimewa untuk itu semua. Jangan kira “pencuri” itu akan diam melihat
langkah-langkah mahasiswa. Mereka lebih jeli dari pada mafia, mereka bertindak
dengan apa saja agar tetap bisa berkuasa. Puluhan lembar rupiah akan mereka
hamburkan untuk merayu kita agar berhenti menumpas korupsi, mari bernyanyi
anggap saja tak ada yang terjadi. Itu yang mereka ingini. Bukan perkara mudah
memang jika sudah begini, karna rayuan dan bujukan raja, sama seperti mendapat
kuasa. Namun inilah saatnya pertaruhan jiwa bergulat. Kepalan tangan di ujung
jalan, penelitian dan argumentasi, akankah menjadi tidak berarti manakala
“raja” berjanji memberi separuh negeri, lalu tutup kasus korupsi, atau
sebaliknya kita akan lebih gagah berani dan teteap perduli, karna semua yang
kita lakukan tulus demi tumpah darah ini.
Ada banyak cara menyadarkan manusia, khususnya bangsa
Indonesia untuk mengerti akan bahaya pencuri negeri yang tak terhakimi. Cara
apa saja, namun tetap dalam jalur yang ada. Peran mahasiswa juga harus kita
sadari sangat berarti dalam memberantas korupsi. Dalam hal ini mahasiswa tidak
dituntut untuk setiap saat berkelahi jika melihat kemunafikan negeri, namun
peran intelektual muda dalam menebas kasus korupsi diantaranya bisa dengan
berkarya dan mencipta. Hal apa saja yang dapat membuka hati dan menyadarkan
negeri. Salah satunya adalah dengan mencipta kata sedalam luka yang ada, hingga
semua sadar kalau intelaktual muda tak cuma bisa baca, pesta, dan cinta saja,
namun juga bisa berkata kalau “almamater penumpas teror”, dengan almamater juga
bisa membalut luka dan melumat habis “tikus-tikus” berdasi. Jadi meski suaramu
tak lagi beku di palung laut, tapi kami masih menagkap sunyi di bibirmu,
teruslah berjuang sampai nanti. Hingga bangsa ini
kembali berdiri, namun tanpa korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar