Halaman

Minggu, 13 Januari 2013

ALMAMATER PENUMPAS TEROR



ALMAMATER PENUMPAS TEROR

Hanya menempuh separuh jalan bukan berarti salah jalan. Ketika angan terbuka dan coba membayangkan tentang hal itu, entah itu ungkapan, pertanyaan, pernyataan, atau hanya goresan tangan. Semua tak akan perduli pasti, apalagi coba menggalinya lebih dalam lagi tentang semua ini. Terlalu jauh memang angan berkelana mengajak kita, jika coba mengungkapkan hal itu, atau tak pengat asa akan mendua manakala kita memendamnya. Tak menarik mungkin jika terus berkutat dengan itu semua, lebih baik berpikir yang sudah tersedia  dari pada sibuk mengungkap kata. Namun semakin kita coba menjauh dari itu semua semakin “perkasalah” para “penguasa” kita. Kita mungkin tak bersenjata, tapi bukan berarti kita sebagai mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa karna kita punya goresan tinta yang lebih berbahaya dari tembakan membabi buta dan gas air mata yang sering digunakan “penjaja negeri” untuk membela diri ketika terbukti merampas “harga diri” bangsa dan menelan rupiah namun tak diadili.
Tak ada pintu masih membuka, tapi mungkin masih ada seliang luka yang menganga dan belum diberi nama, “mereka” mungkin lupa atau sengaja tak berbuat apa-apa, menutup sebelah mata seperti tak ada derita ketika “mereka” berkuasa. Hanya menikmati harta, tahta, dan kuasa seperti seorang raja. “Mereka” juga pasti menempuh jalan panjang untuk mendapat kuasa negeri, mulai dari janji hingga mengucap ikrar pasti, setelah itu resmi berkuasa di negeri ini. Semua orang tentu saja menghargai para “penguasa” itu, menghormati kedudukannya, mendengar tutur katanya ketika ia berbicara. Sebagai rakyat jelata kita hanya bisa menitipkan masa depan bangsa ditangan mereka, mulai dari cita, karya, hingga jiwa, semua ada di pangkuan mereka. Akan tetapi “raja” itu kini menghilang atau sengaja menghilang. Mendusta pada sumpah dan lebih teragis lagi merampas semua yang ada. Entah harus bersedih atau berduka menyaksikan ini semua. Rakyat tak lagi percaya pada penguasa, hukum tak lagi berdaya manakala rupiah berbicara. Lantas apakah kita yang beralmamater dan berpendidikan tinggi (mungkin), hanya diam melihat ketidak adilan ini? Bukan waktunya lagi berbicara cinta, merencanakan pesta dan hura-hura, tapi rangkul semua “keluarga” kita yaitu mahasiswa untuk bersatu, berjuang dengan apa saja yang mereka bisa, dengan satu tujuana pasti, menumpas “pencuri berdasi” hingga tak terdengar lagi kata korupsi.
Jari-jariku luka-berdarah, juga telapak tanganku, begitu tajamyang ingin ku genggam, sedang yang remeh terlepas sudah. Entah dengan apa ku tuliskan esok, sedang sesaat serambi terasa kosong, mungkin aku harus berdiri kini, berdiri bukan dari belakang, tapi berperan di depan, mengangkat kepala, membuka mata. Tidak perlu berperang dengan senjata tajam, dengan kepalkan tangan dan turun ke jalan kita juga bisa menyelamatkan bangsa. Tapi bukan berarti kepalan tangan dan turun ke jalan satu-satunya cara menyelamatkan bangsa atas “penguasa” yang tak berjiwa dan tak ada rasa iba. Sebagai generasi muda yang terdidik atau yang dikenal dengan mahasiswa, pastinya punya berbagai cara menumpas kemunafikan, tentunya dengan cara mereka masing-masing. Seperti membuktikan adanya pencuri dengan meneliti, berjuang berani dengan argumen-argumen rasional dalam diskusi, dan masih banyak upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan negeri dari teror “tikus-tikus berdasi” yang tak punya harga diri. Seperti biasa kita memilih diam menyerahkan perjalanan kepada sunyi, kita percaya saja ia lebih paham bagaimana mengurai jarak dalam sejumlah kelokan seraya membunuh kebimbangan yang menghadang, lalu tetap diam walau ada kebisingan yang garang. Apakah seperti itu tingkah kita saat ini? Apakah hanya itu yang kita mampu? Hanya seperti itu jiwa terhormat mahasiswa itu kini? Padahal kita bosan setiap hari mendengar “pencuri-pencuri” asik berbicara dengan gagah berani. Tentu akan sangat menggelikan sekali hanya diam, menikmati dengan secangkir kopi dan sepong roti, sementara saudara-saudara yang lain meringis dalam sepi. Sama saja tak punya jati diri jika kita sebagai generasi muda masih tetep seperti ini. Untuk apa memiliki alamamater jika tetap seperti ini, tak ubahnya “anak mami” yang hanya bisa iri jika tak diberi roti. Bukan seperti itu yang kita mau, tapi berdiri tegak seperti karang yang diharapkan. Maka mulai kini sadarlah, kita penerus mereka para “raja”,jangan sampai kita yang di hina, ketika menjadi pemimpin bangsa, padahal dahulu gigih menghapus dusta.
Bersandarlah padaku, pada kulit yang belajar darimu bagaimana cara menyentuh dan meredam ombak-ombak kecil yang menghempas dinding-dinding jantung. Jika merasa lelah istirahatlah sejenak, teguk air hangat setelah itu teruskan perjuanganmu sampai tak terbatas jarak. Entah sampai kapan ini semua akan berakhir, lelah memang, namun jangan sesekali menutup mata dan mengunci telinga, karna teror ada di mana-mana. Cobalah belajar dari kesalahan agar tak terjerumus pada lubang yang sama, berkaca pada sejarah masa lampau, sejenak tengok pula lebih kebelakang lagi, coba ingat dengan cermat, negeri ini saat itu “mengerikan”, disegani berbagai bangsa seluruh dunia, mampu mengatasi keterpurukan. Melahirkan manusia-manusia berkasta ksatria. Tak ada pencuri harga diri bangsa, semua bersama-sama membangun negeri dengan berangkulan tangan. Tapi itu masa lalu, masa lalu yang tak mungkin kembali, meski beribu kali mencaci masa itu tidak akan pernah kembali. Yang patut kita renungkan, apakah kita bisa kembali menata semua yang sudah ada hingga kita tak terbelaka? Kini bangsa selalu di rundung duka, walau sesekali coba menutup mata, namun percuma, tarikan jiwa begitu sempurna dan terus berteriak bangkit intelektual muda “peran mahasiswa dalam menutaskan kasus korupsi di Indonesia” belum ada apa-apanya menempuh separuh perjalanan saja tiada. Kalau sudah seperti ini kita harus berbuat apa? Mungkin itu pertanyaan yang harus di tanamkan dan di tumbuhkan dalam diri para mahasiswa, kita harus berbuat apa menumpas “serdadu berdasi” dan “berkantung besi” itu? Tak perlu mencari jawabannya memang, karna semua terdapat dalam diri kita para mahasiswa. Karna tiap hela nafas yang keluar dari liang  jiwa intelektual muda adalah berbau perjuanga harusnya. Begitu indah terasa manakala jiwa bersahaja dengan kita, berbaur dalam semua, dan dengan satu tujuan pasti menyelamatkan negeri ini. Tapi menyelamatkan negeri ini dari apa? Berulang kali meminta pertolongan namun tak mengerti apa pokok masalahnya. Lihat di sekeliling, tengok juga ke samping. Begitu banyak yang perlu di selamatkan. Beribu tangan meminta pertolongan. Lalu harus bagaimana? Masih bertahan atau malah mulai bosan dengan ini semua? Bahkan memilihpun kita tak di ijinkan, karna memang kita tak bisa memilih. Tapi ternyata semua mereka itu “pencuri”, ternyata semua tangan yang meminta pertolongan itupun tak seluruhnya suci. Kini jelas sudah tujuan utama mahasiswa atau kaum intelektual muda, yaitu menumpas apa yang di rampas, memerangi para pencuri, mengadili jika terbukti, bukan main hakim sendiri.
Sudah jelas bukankah kini, jadi tak perlu ada tanya lagi, ubah tanya itu denga bukti, tunjukkan pada mereka kita  berjuang tidak sendiri namun bersama atas nama bumi demi negeri. Runtuhkan “dasi-dasi” yang tak pantas bediri itu. Keloknya jarang di tempuh sang biasa, jurangnya melebihi batas umpama, ujungnya tak terisi oleh mata. Jangan mundur karna kata juga luar biasa, sama seperti bisa yang mampu membunuh seketika, maka tersenyumlah, ajak dia dan mereka berjuang bersama-sama dalam apa saja demi menumpas dusta dan menghapus air mata. Tak dapat sepeserpun memperjuangkan kebenaran memang, justru lelah yang malah terasa, tapi itulah tujuan kita sebagai mahasiswa, selain bergulat dengan buku setiap hari, berkutat pada tugas yang membosankan, namun isu-isu atau tepatnya fenomena yang ada berdasarkan fakta juga harus kita ungkap. Mulai dari yang terkendali, hingga “pencuri negeri” sekalipun harus kita tangani agar kita menjadi pemberani. Bukan berarti mahasiswa adalah dewa, yang mampu menghapus malapetaka, namun mahasiswa hanya berperan ganda, sebagai pencari cita dan juga sebagai jiwa muda yang perduli pada masa depan negeri, karna bukan rahasia lagi menyaksikan hukum di negeri ini berpihak sebelah hati, yang punya rupiah tertinggilah yang menguasai negeri tanpa tersentuh hukum dan tak perduli jeritan hati nurani. Jika seperti itu adanya, lalu siapa yang akan berjuang, mau jadi apa bangsa ini jika dikuasai pencuri.
Perih terasa menyaksikan negeri ini terus-menerus di gerogoti kurcaci-kurcaci tengil yang berkuasa. Mereka selalu menganggap berhak atas segala laksana raja yang tak mempan senjata. Gejolak-gejolak besar berkecamuk di tubuh bangsa ini, maulai dari kasus BLBI hingga kasus mega Bank Century. Yang semua itu lagi-lagi ulah “tikus-tikus berdasi” dan “berkantung besi”. Belum terselesaikan masalah century yang berkepanjangan, muncul lagi hal yang menggelikan, kemewahan di balik jeruji besi. Untuk kesekian kalinya terbuktilah kalau kini pencuri dan perampas martabat bangsa, yang berseragam, harum, rapi, dan wangi namun tak punya harga diri itulah yang memegang kendali. Begitu naïf jika tetap diam, duduk manis dan menyimak saja apa yang terjadi, padahal jelas terbukti korupsi kini mengakar dalam tubuh negeri. Jangan mau jadi pecundang seperti para “penjaja” itu, hadapi saja “pencuri-pencuri” itu dan yakinlah kita mahasiswa tak sendiri. Maka cobalah sedikit demi sedikit kurangi luka negeri ini. Jangan meringis apalagi pesimis karna kita masih seumur jagung, belum paham arti akan nikmat dunia, jangan menunduk karna mahasiswa hanya sebongkah daging yang tak ada kuasa, janga pendam itu semua, karna itu tak lebih sebuah dusta agar kita tak berdaya, lalu “penjaja” itu bahagia merusak semua. Intelektual muda memang belum separuh abad, intelektual muda juga memang tak berkuasa, tapi ingat, penghapusan dusta pada masa dahulu, keruntuhan orde lama, hingga penghapusan orde baru. Semua perubahan negeri diawali dengan bersama oleh para mahasiswa. Lalu masihkah kita berpura-pura mati ketika ada korupsi? Jawabnya ada pada diri kita sendiri, ingin tetap begini, menanti dan ikut menggerogoti atau harus berdiri walau hanya seorang diri untuk menyelamatkan negeri demi ibu pertiwi. Begitulah tangamu menyamar waktu, melambai sepenuh sungguh, serupa kapak sunyi seerkor burung yang sendiri, merambat tapi tak menghampiri, hanya seketika menggoda lalu pergi. Akan tetapi waktu tak mau menunggu, menanti perubahan zaman juga tak bisa hanya diam dan berpangku tangan, butuh sesuatu yang istimewa untuk itu semua. Jangan kira “pencuri” itu akan diam melihat langkah-langkah mahasiswa. Mereka lebih jeli dari pada mafia, mereka bertindak dengan apa saja agar tetap bisa berkuasa. Puluhan lembar rupiah akan mereka hamburkan untuk merayu kita agar berhenti menumpas korupsi, mari bernyanyi anggap saja tak ada yang terjadi. Itu yang mereka ingini. Bukan perkara mudah memang jika sudah begini, karna rayuan dan bujukan raja, sama seperti mendapat kuasa. Namun inilah saatnya pertaruhan jiwa bergulat. Kepalan tangan di ujung jalan, penelitian dan argumentasi, akankah menjadi tidak berarti manakala “raja” berjanji memberi separuh negeri, lalu tutup kasus korupsi, atau sebaliknya kita akan lebih gagah berani dan teteap perduli, karna semua yang kita lakukan tulus demi tumpah darah ini.
Ada banyak cara menyadarkan manusia, khususnya bangsa Indonesia untuk mengerti akan bahaya pencuri negeri yang tak terhakimi. Cara apa saja, namun tetap dalam jalur yang ada. Peran mahasiswa juga harus kita sadari sangat berarti dalam memberantas korupsi. Dalam hal ini mahasiswa tidak dituntut untuk setiap saat berkelahi jika melihat kemunafikan negeri, namun peran intelektual muda dalam menebas kasus korupsi diantaranya bisa dengan berkarya dan mencipta. Hal apa saja yang dapat membuka hati dan menyadarkan negeri. Salah satunya adalah dengan mencipta kata sedalam luka yang ada, hingga semua sadar kalau intelaktual muda tak cuma bisa baca, pesta, dan cinta saja, namun juga bisa berkata kalau “almamater penumpas teror”, dengan almamater juga bisa membalut luka dan melumat habis “tikus-tikus” berdasi. Jadi meski suaramu tak lagi beku di palung laut, tapi kami masih menagkap sunyi di bibirmu, teruslah berjuang sampai nanti. Hingga bangsa ini kembali berdiri, namun tanpa korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar