Anak Jalanan Belajar Berbisnis
“Saya cuma anak kampung, mau sampai kapan juga ya tetap saja anak kampung. Hanya bedanya sekarang sudah tidak kampungan. Hehehe”.
Itu adalah sepenggal kata yang di ucapkan seorang pengusaha souvenir kepada teman-temannya yang kagum dengan dirinya. Dia adalah Ayis Rahim, anak kelahiran Gorontalo 1988 ini, sekitar lima tahun yang lalu nekad merantau ke Ibu Kota hanya untuk mengejar sebuah pendidikan. Cita-citanya sederhana kala itu ‘hanya ingin masuk Universitas Indonesia (UI)’.
Meski berasal dari keluarga yang serba kekurangan namun tak menyurutkan semangat Ayis untuk menempuh pendidikan hingga ke bangku kuliah. Bayangkan saja, Ayahnya hanya seorang buruh dan Ibunya pekerja serabutan. Setiap hari, saat matahari belum menampakkan batang hidungnya, ia sudah harus bergegas untuk menjual kue keliling kampung, padahal saat itu usianya baru lima tahun.
Kalau tidak jualan keliling kampung maka ia tidak akan bisa sekolah. Karena uang yang ia peroleh dari hasil berjualan itu untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan untuk membayar uang sekolah.
Pasar menjadi rumah ke dua bagi dirinya. Karena di tempat itulah ia habiskan hampir seluruh masa kecilnya. Menjadi penjual kantong kresek adalah profesi yang digelutinya hapir enam tahun.
Beranjak remaja ia mulai meninggalkan pekerjaannya sebagai penjual kantong kresek di pasar dan beralih menjadi penjual peralatan rumah tangga. Ia juga menjual souveir seperti aneka bros dan lain sebagainya di sekolah. Saat tas sekolah anak-anka yang lain diisi dengan buku pelajaran, berbeda dengan Ayis, tas yang ia miliki dipenuhi dengan barang dagangan.
Hidup yang keras memaksa ia untuk mandiri sedari kecil. Kedua orang tuanya yang tak memiliki harta dunia berlimpah, disadarinya benar, hingga bermalas-malasan, manja, dan bersenang-senang, hampir tak ada dalam kamus hidupnya. Ia hanya berpikir bagaimana bisa mendapatkan uang hari ini nanti dan esok karena jika tak mendapatkan uang, maka sudah dapat dipastikan ia tidak akan bisa menikmati lezatnya nasi putih hari ini.
“Saya cuma anak kampung, mau sampai kapan juga ya tetap saja anak kampung. Hanya bedanya sekarang sudah tidak kampungan. Hehehe”.
Itu adalah sepenggal kata yang di ucapkan seorang pengusaha souvenir kepada teman-temannya yang kagum dengan dirinya. Dia adalah Ayis Rahim, anak kelahiran Gorontalo 1988 ini, sekitar lima tahun yang lalu nekad merantau ke Ibu Kota hanya untuk mengejar sebuah pendidikan. Cita-citanya sederhana kala itu ‘hanya ingin masuk Universitas Indonesia (UI)’.
Meski berasal dari keluarga yang serba kekurangan namun tak menyurutkan semangat Ayis untuk menempuh pendidikan hingga ke bangku kuliah. Bayangkan saja, Ayahnya hanya seorang buruh dan Ibunya pekerja serabutan. Setiap hari, saat matahari belum menampakkan batang hidungnya, ia sudah harus bergegas untuk menjual kue keliling kampung, padahal saat itu usianya baru lima tahun.
Kalau tidak jualan keliling kampung maka ia tidak akan bisa sekolah. Karena uang yang ia peroleh dari hasil berjualan itu untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan untuk membayar uang sekolah.
Pasar menjadi rumah ke dua bagi dirinya. Karena di tempat itulah ia habiskan hampir seluruh masa kecilnya. Menjadi penjual kantong kresek adalah profesi yang digelutinya hapir enam tahun.
Beranjak remaja ia mulai meninggalkan pekerjaannya sebagai penjual kantong kresek di pasar dan beralih menjadi penjual peralatan rumah tangga. Ia juga menjual souveir seperti aneka bros dan lain sebagainya di sekolah. Saat tas sekolah anak-anka yang lain diisi dengan buku pelajaran, berbeda dengan Ayis, tas yang ia miliki dipenuhi dengan barang dagangan.
Hidup yang keras memaksa ia untuk mandiri sedari kecil. Kedua orang tuanya yang tak memiliki harta dunia berlimpah, disadarinya benar, hingga bermalas-malasan, manja, dan bersenang-senang, hampir tak ada dalam kamus hidupnya. Ia hanya berpikir bagaimana bisa mendapatkan uang hari ini nanti dan esok karena jika tak mendapatkan uang, maka sudah dapat dipastikan ia tidak akan bisa menikmati lezatnya nasi putih hari ini.
Beranjak dewasa, tepatnya sehabis lulus Sekolah Menengan Atas (SMA).
Ayis memutuskan untuk hijrah ke Ibu Kota. Meski awalnya sangat ditentang
oleh seluruh keluarganya karena faktor ekonomi yang sangat tidak
memungkinkan, namun ia tetap bersikeras karena ia ingin masuk UI.
Hingga akhirnya Ayah dan Ibunya harus merelakan anak kesayangan mereka untuk hijrah ke Jakarta demi meraih cita-citanya.
Berbekal uang tiga juta rupiah, Ayis pun nekad pergi berkelana ke Jakarta. Padahal ia sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Sesampainya di Ibu Kota, anak laki-laki ini bingung harus berbuat apa karena tak satu kerabat pun ia miliki di sini. Alhasil ia harus berjibaku lagi untuk mempertahankan hidupnya di sini. Satu tahun ia habiskan hidupnya dengan menjadi seorang penjual koran. Dari satu terminak ke terminal lain berjualan koran sudah biasa ia lakukan. Hingga ia pun akrab dengan sebutan anak jalanan atau anak gelandangan.
Sampai pada suatu ketika mimpinya untuk merai cita-cita akhirnya datang juga. Berkat semangatnya yang tinggi dan tak henti-hentinya terus belajar, ia akhirnya berhasil masuk UI.
“ini semua berkat bantuan kakak-kakak mahasiswa dari UI yang rela meluangkan waktunya untuk mengajarkan saya berlatih soal-soal ujian, hingga saya bisa masuk UI” kata pria bertubuh kurus kerontang ini pada rekan-rekan media yang tengah meliputnya pada tahun 2008. Sekarang, ia bukan lagi anak jalanan, pedangan asongan, dan anak kampung yang bisa masuk UI, tapi ia kini menjelma menjadi seorang pebisnis sukses.
Hingga akhirnya Ayah dan Ibunya harus merelakan anak kesayangan mereka untuk hijrah ke Jakarta demi meraih cita-citanya.
Berbekal uang tiga juta rupiah, Ayis pun nekad pergi berkelana ke Jakarta. Padahal ia sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Sesampainya di Ibu Kota, anak laki-laki ini bingung harus berbuat apa karena tak satu kerabat pun ia miliki di sini. Alhasil ia harus berjibaku lagi untuk mempertahankan hidupnya di sini. Satu tahun ia habiskan hidupnya dengan menjadi seorang penjual koran. Dari satu terminak ke terminal lain berjualan koran sudah biasa ia lakukan. Hingga ia pun akrab dengan sebutan anak jalanan atau anak gelandangan.
Sampai pada suatu ketika mimpinya untuk merai cita-cita akhirnya datang juga. Berkat semangatnya yang tinggi dan tak henti-hentinya terus belajar, ia akhirnya berhasil masuk UI.
“ini semua berkat bantuan kakak-kakak mahasiswa dari UI yang rela meluangkan waktunya untuk mengajarkan saya berlatih soal-soal ujian, hingga saya bisa masuk UI” kata pria bertubuh kurus kerontang ini pada rekan-rekan media yang tengah meliputnya pada tahun 2008. Sekarang, ia bukan lagi anak jalanan, pedangan asongan, dan anak kampung yang bisa masuk UI, tapi ia kini menjelma menjadi seorang pebisnis sukses.
Salah seorang sahabatnya dikampusnya yang bernama Arief, menjadi saksi
keberhasilannya dalam meraih kesuksesan. Karena bisnis yang ia jalankan
saat ini ia rintis dari awal bersama sabahabatnya itu. Kini, dua sosok
pemuda yang ramah dan murah senyum ini, menjelma menjadi salah satu
pebisnis handal di Indonesia.
Pada tahun 2008, kisah anak jalanan ini sempat di muat dalam media masa ternama, berikut ini linknya. Semoga bermanfaat untuk para pembaca. Amin
http://news.liputan6.com/read/165174...u-kuliah-di-ui
Pada tahun 2008, kisah anak jalanan ini sempat di muat dalam media masa ternama, berikut ini linknya. Semoga bermanfaat untuk para pembaca. Amin
http://news.liputan6.com/read/165174...u-kuliah-di-ui
Hanya satu dari sekian banyak kisah
pengusaha yang sukses dan menginspirasi banyak orang. Semoga kisah salah satu
sahabat ini mampu memberi semangat para anak-anak jalanan untuk meraih
kesuksesan. Bahwa sukses itu milik siapa saja, termasuk anak jalanan sekali
pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar