Mungkin
Dia melihatku, aku yakin dia juga pasti
menaru perhatian padaku atau paling tidak, dia tahulah namaku.
Yah mungkin saja begitu, ah, tidak,
tidak begitu, jangan pakai kata mungki, karna aku yakin dia pasti melihatku
juga.
Aku benci kata mungkin. Kalau begitu
dia pasti melihatku dan menaru perhatian padaku, sama seperti aku menaru
perhatian padanya. Tapi, terserah sajalah yang jelas aku mengaguminya kini. Nah
begitu terasa lebih baik.
Aneh, dia tidak berkulit putih, berdada
besar, berbadan jenjang, seperti hayalanku tentang wanita idaman. Mungkin bukan
hanya hayalanku saja, tapi juga hayalan laki-laki normal lainnya, yang
menginginkan seorang wanita sepeti itu. Berkulit putih, berbadan jenjang,
berdada besar, yang selalu meraka anggap
itu buah segar.
Dia sama seperti wanita-wanita lainnya.
Rambutnya sebahu, hitam, lurus dan dibiarkan terurai begitu indah.
Kulitnya seperti memancarkan cahaya
yang membuat semua pria mengaguminya, walau tak seputih salju.
Tubuhnya indah meski tak berdada besar,
namun cukup meyakinkan kalau ia bukan anak kecil lagi.
Senyumnya sama seperti wanita yang
pernah aku lihat diberbagai tempat awalnya. Tapi semakin ku lihat senyum itu,
semakin aku mengaguminya lagi, lebih dalam lagi, sehingga membuat ia begitu
berbeda dari semua.
Tapi apa yang membuat wanita ini dapat
pengecualian besar? Mungkin dia polos, tapi tidak juga ternyata. Dia pernah
menjalin hubungan dengan dua pria dalam waktu berbeda, itu cukup meyakinkan aku
kalau dia tidak polos. Meski kini dia sendiri.
Dan kini, semuanya sudah kuceritakan
pada teman-temanku. Tentang dia, tentang wanita yang penuh pengecualian itu.
Semua perasaan kagumku padanya. Dan ternyata mereka yakin, sangat yakin. Aku
pasti bisa kali ini, bisa tak sendiri lagi, itu perkataan mereka. Kini aku
memang sedang gencar-gencarnya mencari sosok wanita yang bisa menemani
kesendirianku.
Teman-temanku berkata kalau wanita ini,
yang aku ceritakan itu, bukan wanita sembarang.
Tapi dia ciptaan Tuhan yang paling sempurna,
dia begitu anggun, begitu terlihat cerah senyum di pipinya kala ia tertawa.
Halus tuturnya saat menyapa, begitu lembut warna kulitnya yang alami.
Tak seperti wanita lain yang harus
menghabiskan berjuta-juta hanya demi penampilan. Itulah ungkapan mereka
terhadap wanitaku itu, dia salah seorang wanita terbaik di bumi ini dan begitu
banyak yang menginginkannya.
Aku tak mengerti
ini semua, dan tak akan
pernah mengerti. Selalu. Yang aku mengerti, dulu aku hanya bisa mengagumi saja,
namun kali ini aku dapat menggenggam tangannya lebih dekat, lebih mesra.
Yah aku kini tak sendiri. Wanita itu
sudah jadi pendampingku saat ini. Ia jadi kekasihku sekarang. Aku kini tak
sendiri.
Kini aku jauh dari kebiasaan mencari
wanita, jauh dari hura-hura, jauh dari pesta, jauh dari film dewasa, jauh dari
itu semua karna kini ada Permata. Aku mulai menjauh dari kenakalan remaja sejak
kenal Permata.
Dia Permata, namanya Permata, wanita
yang dulu hanya bisa aku kagumi itu. Dan aku mulai benar-benar mengaguminya
lagi ketika lebih dekat dengannya, sangat dekat.
Dia begitu sempurna di mataku, sangat
sempurna, tanpa pengecualian sedikitpun. Sering aku berpikir kalau yang patut
mendapat pengecualian adalah aku. Siapa aku? Hanya pria bertubuh kurus dengan
rambut yang juga tak lurus.
Coba bayangkan, kulitku seperti sawo
yang hampir busuk, rambutku bergelombang, badanku kurus kering, tapi aku bisa
dapatkan wanita secantik dia. Sungguh anugrah yang tak bisa dibeli ini semua.
Aku bahkan tak punya sedan mengkilap
atau jaguar roda empat yang bisa bikin semua wanita terpikat. Tapi aku tak
perduli itu semua, yang pasti aku punya Permata saat ini, Permata yang indah,
sangat indah dimataku.
Dia begitu berbeda
dalam semua, berbeda dalam irama, berbeda dalam suara, keculai dalam cinta. Tak pernah ada alasan pasti mengundang
emosi untuk mencaci, tak terngiang
sedikitpun untuk pergi, apalagi harus menghiyanati. Karna dia begitu dewasa
jauh melebihi usianya yang belum juga delapan belas tahun.
Ia begitu mengerti isi hatiku,
setidaknya itu yang aku pahami sampai kini. Kesabarannya, pengertiannya,
perkataannya, keceriannya, semua tentangnya begitu sempurna, makin mengaguminya
dan aku makin ingin terus besama selamanya.
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya aku
tetap tak mengerti dengan rencana-Nya. Selalu tidak akan pernah tahu. Yang aku
tahu adalah, hampir dua tahun
kebersamaan yang begitu indah itu, yang aku pun tak cukup dan masih ingin terus
mengaguminya. Lebih ingin mengaguminnya lagi dalam semua.
Akan tetapi, kini ia bilang tak akan
lagi, tak dapat lagi, tak bisa bersama lagi, tanpa alasan pasti yang sulit
dimengerti.
“Apa aku tak seperti yang kau mau? Apa aku tidak sempurna?”
Itu yang pertama aku tanyakan padanya.
“Tak terlintas sedikpun tentang itu”
Jawabnya denga lembut. Kemudian ia
melanjutkan dengan bahasa yang begitu indah. Sungguh luar biasa wanita ini.
Bahkan dalam tutur katapun tetap ia jaga dengan penuh irama. Ia lanjutkan
kata-katanya tentang perpisahan kami.
“Kau begitu sempurna, kau tulus
menyayangiku, tidak pernah kubayangkan kesetiaan yang kau punya melebihi
meraka, melebihi segala yang kurasa tentang pria. Kedewasaanmu tak pernah
kutemukan pasti pada orang lain, laki-laki lain yang pernah kukenal. Hanya kau
yang tidak pernah lelah dengan laku ku, aku pun tak henti mengagumimu, tidak cukup,
tidak akan pernah cukup. Tapi aku tetap tak bisa, tetap tak bisa meski sudah
kucoba”
“Lantas mengapa?”
Tanyaku lagi padanya. Ini perkataanku
yang ke dua pada Permata. Lalu, dia mengatakannya lagi dengan nada berbeda kali ini
“Karna kau begitu
sempurna dimataku, yah kau begitu sempurna dimataku, kau begitu sempurna
dimataku.”
Ia mengulanginya,
mengulangi kata-kata itu, kata-kata yang tidak pernah
kuharapkan dari dirinya. Aku
coba merayu dengan kenangan masa lalu, aku mulai bercerita tentang masa indah,
berharap ia mengubah dan membuka hatinya lagi untuk ku kali ini
“Kau wanita pertama yang mengubah
hidupku, kau yang pertama jatuh di pelukan ku ketika kita sudah mulai lelah
bercengkrama, kau yang pertama mengecup keningku dengan lembut, membelaiku
dengan indah, mengecup lagi bibirku
dengan cinta, memeluk ku dengan bahagia, kau….”
“Yah begitupun aku”
Ia memotong pembicaraanku dengan ramah.
Kini, aku yang diam dan dilanjutkanlah perkataanya.
“Aku pun begitu, kau yang pertama untuk
semua itu. Tapi aku tetap tidak bisa, kita harus berpisah, kini kau harus
belajar membuangku, sama seperti aku belajar membuangmu”
Ungkapan yang tidak pernah terlintas
dalam benakku, namun kini dia katakan dengan lembut walau terasa tetap
menyakitkan.
Tapi, masih saja aku coba tetap merayu.
Percakapan kami berlanjut lagi sekarang. Dan semakin memanas.
“Aku selalu yakin atas semua, juga
yakin akan dirimu yang akan bersamaku hingga nanti aku mampu dan cukup untuk
merangkulmu lebih erat lagi, dalam keresmian. Masih jauh memang, tapi aku yakin
dengan itu semua, kau cinta partamaku dan aku yakin kau yang terakhir bagiku”
“Itu yang kau
lupakan”
Kali ini dia
menjawab dengan nada yang sedikit tinggi.
“Kau selalu menganggap itu yakin, tapi
tidak denganku, semua bagiku mungkin”
“Jadi semua ini palsu?”
Aku memotong kata-katanya dengan juga
bernada tinggi
“Tidak. Karna aku berusaha untuk jujur
pada ini semua.”
Jawabnya dengan
mesra. Lalu aku
menundukan kepala dan berkata
“Jadi, apa kau
tidak pernah mencintaiku?”
“Mungkin. Jadi lupakan aku”
Kata itu, kata yang aku benci ternyata
selama ini ada dibenaknya dan tak pernah aku mengetahuinya karna yang aku tahu
dan yang aku mau adalah pasti.
Seketika itu juga ia pergi. Pergi
meninggalkan aku, meninggalkan segala kekagumanku tentangnya. Pergi tanpa pernah
menoleh kebelakang, kini ia benar-benar ingin menghapus segalanya. Kini aku
akan belajar membencimu.
“Sepahit itukah masa lalumu, sehingga
sampai kini kau masih membencinya?”
Sahabatku bertanya sambil menepuk
pundakku, berusaha untuk menyemangatiku yang mulai lelah bercerita panjang
tentang kekaguman yang aku benci itu.
Aku bercerita panjang lebar dengan
temanku karena sampai saat ini ingatan tentang Permata masih ada di benak ini.
Aku berharap dengan aku curahkan isi
hati ini, setidaknya sedikit kesedihan akan luka yang memanganga dulu terobati.
Lalu, aku menjawab perkataanya itu dengan tegas, menjawab perkataan temanku
yang sedari tadi asik mendengar ceritaku ini.
“Yah benar, aku membencinya, lebih
tepatnya aku membenci kata itu, kata yang tak mau aku dengar, dan tak akan
pernah aku ucapkan.”
“Lantas, bukankah kau sudah punya penggantinya
kan kini? Wanita yang begitu mengagumimu dalam semua. Ia juga wanita
sempurna yang selalu jadi rebutan para pria, kau beruntung teman, sangat
beruntung. Dia tidak kalah dari masa lalumu itu
yang entah kini mengingatmu lagi atau tidak ketika bertemu di persimpangan
jalan.”
Dia melontarkan
pendapatnya dengan berani dan yakin kali ini
“Yah benar aku sudah punya penggantinya kini”
Jawab ku singkat. Kemudian dia menatapku
tajam dan berkata
“Tapi sepertinya
kau tidak sebahagia dulu? Apa kau tak pernah mencintainya?”
“Mungkin.”
Diangkat dari sepenggal kisah dalam novel yang berjudul "Anak Isimu"